Wednesday, December 28, 2011
Pendidikan Karakter, Kunci Kebangkitan Bangsa
Pendidikan karakter menjadi kunci terpenting kebangkitan Bangsa Indonesia dari keterpurukan, untuk menyongsong datangnya peradaban baru. Demikian dikatakan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X di Yogyakarta, Kamis (10/11).
"Oleh karena itu, proses pembelajaran harus mengedepankan pemberadaban bangsa," katan Sri Sultan.
Menurut Sri Sultan, Dewan Pendidikan harus bisa merumuskan fondasi pendidikan yang berkarakter bagi anak didik, sehingga mereka menjadi cerdas spiritual, sosial, dan nalar, serta memiliki kepribadian yang unggul. Bukan hanya kecerdasan kognitif, tetapi kecerdasan manusia seutuhnya.
"Dengan demikian, Bangsa Indonesia menjadi cerdas dalam politik, ekonomi, dan budaya, serta dalam kehidupan yang religius," kata Sri Sultan.
Sri Sultan mengatakan, Dewan Pendidikan harus dapat merintis gagasan yang besar, tanpa kehilangan predikat fungsinya dalam melakukan supervisi, kontrol, dukungan, dan mediasi terhadap penyelenggaraan pendidikan di DIY. Tugas Dewan Pendidikan, menurutnya, merupakan personifikasi potensi dan harapan masyarakat terhadap dunia pendidikan yang bermutu.
"Dengan demikian, Dewan Pendidikan harus bisa mengungkap permasalah pendidikan dengan membuat prioritas jalan keluarnya," kata Sri Sultan. "Kami mengapresiasi gagasan-gagasan segar tentang penilaian Ujian Nasional, `professor goes to school`, dan `teacher goes to Campus`, karena guru memiliki peran yang sangat sentral."
Menurut Sri Sultan, guru antarbidang studi harus bisa "sharing" untuk meningkatkan kualitas diri, sehingga "output" pendidikan akan semakin bermutu. Apalagi jika para guru mau menimba ilmu di kampus untuk meningkatkan pendidikan.
"Dengan otonomi pendidikan itu kita berprinsip `berpikir global, bertindak lokal`, yang berarti anak didik di bawa ke arah berpikir secara global, tetapi tindakan nyata selalu di sekitar area anak didik. Dengan demikian, meskipun anak didik tumbuh kembang di lingkungan lokal, setiap tindakannya selalu ditempatkan dalam perspektif global," kata Sri Sultan.(Ant/SHA)
Permasalahan Hukum di Indonesia
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan sebagainya).
Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.
Contoh peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata.
Sehingga dapat di katakan aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat) juga mudah atau dimudahkan untuk melakukan berbagai tindakan tercela dan sekaligus juga melawan hukum. Suatu tindakan yang terkadang dilatarbelakangi salah satunya oleh alasan rendahnya kesejahteraan dari para aparat penegak hukum tersebut (kecuali mungin advokat). Namun memberikan gaji yang tinggi juga tidak menjadi jaminan bahwa aparat penegak hukum tersebut tidak lagi melakukakn tindakan tercela dan melawan hukum, karena praktek-praktek melawan hukum telah menjadi bagian hidup setidak merupakan pemandangan yang umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah fakultas hukum.
Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.
Contoh peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata.
Sehingga dapat di katakan aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat) juga mudah atau dimudahkan untuk melakukan berbagai tindakan tercela dan sekaligus juga melawan hukum. Suatu tindakan yang terkadang dilatarbelakangi salah satunya oleh alasan rendahnya kesejahteraan dari para aparat penegak hukum tersebut (kecuali mungin advokat). Namun memberikan gaji yang tinggi juga tidak menjadi jaminan bahwa aparat penegak hukum tersebut tidak lagi melakukakn tindakan tercela dan melawan hukum, karena praktek-praktek melawan hukum telah menjadi bagian hidup setidak merupakan pemandangan yang umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah fakultas hukum.
Subscribe to:
Posts (Atom)